Awal kembali ke sekolah di semester dua kemarin, ada perasaan gelisah dan khawatir. Belum-belum sudah disodori daftar siswa yang masuk catatan hitam, maksudnya seringkali mendapat remidi. Sebagai calon pendamping di kelas dua, jujur awalnya saya merasa takut hingga muncul beragam pertanyaan dalam hati, saya bisa nggak ya nanti? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terkadang muncul dan pergi. Yah, semoga ini bukan sebuah keraguan dalam melangkah nanti.
Ada waktu sekitar sepekan sebelum back to school untuk mempersiapkan diri. Baca-baca dan mereview bukunya pak Mulyasa tentang Bagaimana Menjadi Guru Profesional sampai saya teringat sebuah buku hadiah dari murid-murid saya waktu PPL di SMPN 8 Malang dulu, judulnya yaitu menjadi Guru di Bawah Bimbingan Allah. Alhamdulillah, batin saya saat itu, akhirnya bermanfaat juga buku ini. Hingga pada akhirnya, saya temukan bahwa ternyata sebuah kekuatan yang luar biasa dari seorang guru adalah bila sang guru memiliki kekuatan ruhiyah yang luar biasa juga. Maksudnya, betapa pun hebatnya kita dalam merancang sebuah pembelajaran, luar biasanya kita dalam merancang sebuah pembelajaran, luar biasanya kita dalam memanage kelas, pun luasnya wawasan dan dalamnya ilmu kita sebgai seorang guru, akan tetapi ada kekuatan yang lebih dahsyat selain itu semua. Kekuatan itu adalah kedekatan kita kepada Allah SWT. Sehingga kekutan itu akan menumbuhkan keikhlasan, sabar dan tawakal, memunculkan karakter tsabat (teguh) dan penuh jiddiyah (kesungguhan), dan membentuk sebuah kepribadian yang bijaksana dan istiqomah sebagai seorang pendidik bukan seorang pengajar yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan di kelas dan setelah itu selesai begitu saja. Bukan semata-mata juga menggugurkan tanggung jawab kepada anak didik dan orang tua anak didik sebagai customer kita.
Barangkali, mulai saat ini perlu kita renungkan bersama betapa dahsyatnya kekuatan doa seorang guru (murabbi) kepada anak didiknya (mutarabbi). Betapa tidak, dalam munajat kita, doa-doa robithah kita setiap pagi dan petang, semuanya adalah solusi paling jitu buat anak-anak kita yang barangkali…yah tidak secermelang teman-temannya (bukan berarti mereka bodoh dan tidak punya potensi loh!). dalam keseharian kita berinteaksi dengan mereka tidak hanya menuntut mereka untuk menuntaskan beberapa mata pelajaran sesuai kurikulum yang ditetapkan sekolah, akan tetapi sebelum kita menuntut itu semua, sudahkah kita melakukan evaluasi terhadap diri kita pribadi? Sudahkah kita mendoakan anak-anak didik kita setiap selesai sholat? Sudahkah kita sebut nama-nama mereka dalam setiap doa-doa kita? Sudahkah kita bayangkan wajah-wajah imut dan lugu mereka dalam setiap munajat kita?
Saudaraku…, sebagai seorang guru, marilah kita bersama-sama mewujudkan cita-cita kita untuk mencetak generasi rabbani dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tsabat dan jiddiyah yang tak terukur, dan hanya ingin mendapatkan balasan semata-mata karena ridho Allah SWT.
Mulai saat ini, dan mulai sekarang kita tidak perlu lagi ragu-ragu, khawatir, dan bahkan takut dalam melangkah. Kita harus yakin bahwa kita punya Allah sebagai sumber kekuatan kita dalam mendidik dan mengantarkan anak-anak didik kita menjadi ‘orang’ yang sukses dunia dan akhirat. Semoga kekuatan doa akan menjadi kekuatan yang kekal untuk menjadikan kita guru yang bermartabat. Amin.
Puisi ini adalah tulisan dari Marva Collins dalam Chicken Soup for The Teacher’s Soul, maknanya sangat mendalam jika mau merenunginya bersama.
Guru…
Guru adalah seseorang yang memimpin
Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku
Aku tidak berjalan di atas air
Aku tidak membelah lautan
Aku hanya mencintaimu…
Anak-anak.
Wahai para guru (murabbi), mulai saat ini marilah kita menjadikan doa sebagai kekuatan kita dalam melangkah dan mengantarkan anak-anak didik kita dalam menggapai cita-citanya. Insya Allah dengan penuh cinta, keikhlasan dan kesabaran, yakinlah bahwa mereka akan membuat kita tersenyum bangga.
tulisan ini ditulis pada momen HARDIKNAS, 2 Mei 2009, tetapi...
sengaja penulis publikasikan lagi untuk saudara-saudaraku tercinta
ust/ustzh SDIT Insan Permata agar kembali menguatkan doa-doanya
kepada para calon mujahid/mujahidah penerus bangsa.
Ada waktu sekitar sepekan sebelum back to school untuk mempersiapkan diri. Baca-baca dan mereview bukunya pak Mulyasa tentang Bagaimana Menjadi Guru Profesional sampai saya teringat sebuah buku hadiah dari murid-murid saya waktu PPL di SMPN 8 Malang dulu, judulnya yaitu menjadi Guru di Bawah Bimbingan Allah. Alhamdulillah, batin saya saat itu, akhirnya bermanfaat juga buku ini. Hingga pada akhirnya, saya temukan bahwa ternyata sebuah kekuatan yang luar biasa dari seorang guru adalah bila sang guru memiliki kekuatan ruhiyah yang luar biasa juga. Maksudnya, betapa pun hebatnya kita dalam merancang sebuah pembelajaran, luar biasanya kita dalam merancang sebuah pembelajaran, luar biasanya kita dalam memanage kelas, pun luasnya wawasan dan dalamnya ilmu kita sebgai seorang guru, akan tetapi ada kekuatan yang lebih dahsyat selain itu semua. Kekuatan itu adalah kedekatan kita kepada Allah SWT. Sehingga kekutan itu akan menumbuhkan keikhlasan, sabar dan tawakal, memunculkan karakter tsabat (teguh) dan penuh jiddiyah (kesungguhan), dan membentuk sebuah kepribadian yang bijaksana dan istiqomah sebagai seorang pendidik bukan seorang pengajar yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan di kelas dan setelah itu selesai begitu saja. Bukan semata-mata juga menggugurkan tanggung jawab kepada anak didik dan orang tua anak didik sebagai customer kita.
Barangkali, mulai saat ini perlu kita renungkan bersama betapa dahsyatnya kekuatan doa seorang guru (murabbi) kepada anak didiknya (mutarabbi). Betapa tidak, dalam munajat kita, doa-doa robithah kita setiap pagi dan petang, semuanya adalah solusi paling jitu buat anak-anak kita yang barangkali…yah tidak secermelang teman-temannya (bukan berarti mereka bodoh dan tidak punya potensi loh!). dalam keseharian kita berinteaksi dengan mereka tidak hanya menuntut mereka untuk menuntaskan beberapa mata pelajaran sesuai kurikulum yang ditetapkan sekolah, akan tetapi sebelum kita menuntut itu semua, sudahkah kita melakukan evaluasi terhadap diri kita pribadi? Sudahkah kita mendoakan anak-anak didik kita setiap selesai sholat? Sudahkah kita sebut nama-nama mereka dalam setiap doa-doa kita? Sudahkah kita bayangkan wajah-wajah imut dan lugu mereka dalam setiap munajat kita?
Saudaraku…, sebagai seorang guru, marilah kita bersama-sama mewujudkan cita-cita kita untuk mencetak generasi rabbani dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tsabat dan jiddiyah yang tak terukur, dan hanya ingin mendapatkan balasan semata-mata karena ridho Allah SWT.
Mulai saat ini, dan mulai sekarang kita tidak perlu lagi ragu-ragu, khawatir, dan bahkan takut dalam melangkah. Kita harus yakin bahwa kita punya Allah sebagai sumber kekuatan kita dalam mendidik dan mengantarkan anak-anak didik kita menjadi ‘orang’ yang sukses dunia dan akhirat. Semoga kekuatan doa akan menjadi kekuatan yang kekal untuk menjadikan kita guru yang bermartabat. Amin.
Puisi ini adalah tulisan dari Marva Collins dalam Chicken Soup for The Teacher’s Soul, maknanya sangat mendalam jika mau merenunginya bersama.
Guru…
Guru adalah seseorang yang memimpin
Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku
Aku tidak berjalan di atas air
Aku tidak membelah lautan
Aku hanya mencintaimu…
Anak-anak.
Wahai para guru (murabbi), mulai saat ini marilah kita menjadikan doa sebagai kekuatan kita dalam melangkah dan mengantarkan anak-anak didik kita dalam menggapai cita-citanya. Insya Allah dengan penuh cinta, keikhlasan dan kesabaran, yakinlah bahwa mereka akan membuat kita tersenyum bangga.
tulisan ini ditulis pada momen HARDIKNAS, 2 Mei 2009, tetapi...
sengaja penulis publikasikan lagi untuk saudara-saudaraku tercinta
ust/ustzh SDIT Insan Permata agar kembali menguatkan doa-doanya
kepada para calon mujahid/mujahidah penerus bangsa.