Kamis, 17 Februari 2011

Ikhlas, Khusnudhon, dan Pemaaf (Menjadi Guru Menyanangkan Part 12)



            Salah satu sikap guru yang disukai para siswa adalah tulus (ikhlas) dalam melakukan sesuatu. Sikap tulus adalah sikap tidak mengharapkan imbalan atau pujian dari makhluk atas segala apa yang dikaukannya. Ia mengarjakan segala sesuatu sesuai dengan panggilan hati nurani sehingga terasa menyenangkan.
            Para siswa merasa nyaman relajar dengan guru tulus. Ketulusan gurunya dalam membimbing dan mendidik siswanya dirasa sebagai sumber kekuatan para siswa dalam mencapai cita-cita mereka.
            Guru yang tulus dalam melakukan pekerjaannya tampak tanda-tandanya, seperti berikut ini.
  1. Bekerja dengan semangat yang tinggi.
  2. Mengayomi semua siswanya.
  3. Sabar dalam mengantarkan siswa-siswi menuju cita-cita mereka.
  4. Bekerja atas panggilan jira, bukan karena imanan. Imbalan baginya merupakan hal yang wajar ia tarima, bukan sumber motivasi utama.
  5. Tidak mengharapkan pujia dari sesama manusia.
  6. Bekerja dengan gembira (senang). Artinya, ia dapat menikmati pekerjaannya.
  7. Bajía apabila siswa asuhannya menjadi orang sukses atau berhasil.
Yang kedua selain Ikhlas, hendaknya seorang guru memiliki sikap berpikir positif
(khusnudhon) terhadap segala sesuatu atau setiap kejadian. Guru yang berpikir positif hádala guru yang mampu berpikir dari sisi baiknya terhadap setiap situasi dan keadaan yang ia hadapi. Misalnya, apabila ia menghadapi siswa yang kurang cerdas secara intelektual, guru yang berpikir positif akan memandang siswa dari sisi positifnya, bukan dari ketidakcerdasan intelektualnya. Ia dapat membaca dan menangkap sisi-sisi positif lanilla yang dapat dikembangkan.
            Guru yang berpikir positif selalu optimis dalam melaksanakan proses pembelajaran. Ia tidak pernah berputus asa dalam melaksanakan tugasnya. Siswa seperti apa pun ia layani dengan sikap optimis ini. Hal ini tentu saja akan memberikan kekuatan ruhani lepada para siswa.
            Wajarlah apabila guru berpikir positif disenangi para siswanya. Ia selalu memberikan semangat dan kekuasaan lepada siswanya meskipun situasinya kurang menguntungkan.
            Yang ketia hádala menjadi guru menyenangkan harus memiliki sikap pemaaf. Siswa merupakan sosok manusia yang belum dewasa. Mereka acapkali membuat guru tersinggung, marah, dan sebagainya. Hal ini tentu saja Sangay manusiawi.
            Sebagai orang yang telah dewasa atau didewasakan, guru hendaknya memiliki sikap pemaaf. Sebab, segala apa yang dilakukan siswa pada hakikatnya adalah suatu proses pembelajaran. Mereka dapat diarahkan menjadi manusia yang lebih baik dan lebih berguna.
            Guru tidak boleh berputus asa apabila menghadapi perilaku siswa yang mengecewakan. Semua kesalahan siswa dapat menjadi media pembelajaran yang Sangay bermanfaat bagi pertumbuhan kepribadian mereka. Di sini guru dituntut berpikir positif sehingga tidak ada satu pun perilaku buruk siswa yang menjadi keburukan. Sebaliknya, di tangan guru, perilaku buruk siswa ini menjadi media pembelajaran untuk perbaikan ke depan.
            Di tangan guru pemaaf, perilaku salah siswa dapat diperbaiki. Ia Sangay dicintai para siswanya karena mereka merasa diberi desempatan untuk memperbaiki segala sikap dan perilaku buruk mereka.
            Dalam menerapkan sikap pemaaf ini, tentu saja seorang guru harus mampu menindaklanjuti sikap pemaafnya dengan cermat. Pemberian maaf yang tidak disertai tantangan untuk memperbaiki diri kurang berguna bagi perubahan sikap dan perilaku para siswa. Bahkan, mereka dapat mengulang-ulang kesalahan yang serupa dan sama karena berkeyakinan akan dimaafkan oleh guru mereka.
            Guru pemaaf bukan berarti tidak mau menghukum siswa yang melakukan kesalahan berulang-ulang dengan kesengajaan. Guru pemaaf dapat saja menghukum siswa-siswinya yang melakukan kesalahan yang diulang dengan kesengajaan. Akan tetapi, ia dengan aktif mengarahkan sikap dan perilakunya agar menjadi lebih baik pada masa depan.
            Memaafkan berarti menghapus kesalahan masa lalu. Oleh sebab itu, estela memberikan maaf, guru tidak boleh mengungkit-ungkit kesalahan yang telah dimaafkan. Apabila guru masih melakukan hal ini, berarti ia belum memaafkan mereka. Para siswa paling anti apabila kesalahan masa lalunya diungkit-ungkit, apalagi jika hal itu sudah dimaakan.
            Dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita masih sering mendapati guru yang suka mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu siswa yang sudah dimaafkan. Sikap seperti ini kurang bijaksana dilakukan seorang guru. Para siswa tidak menyukai sikap yang demikian. Kesalahan masa lalu bagi siswa merupakan aib yang seharusnya ditutupi oleh gurunya.
            Siswa yang sering diungkit-ungkit kesalahan masa lalunya cenderung merasa erus bersalah sehingga ia menjadi beringas dan nekat. Bahkan ia dapat bersikap ekstrem.
            Apabila guru hendak menangani sebuah kesalahan siswa, ia tidak sepatutnya mengungkit-ungkit kesalahan siswa yang terjadi pada masa lalu. Ia hendaknya terfokus pada kesalahan yang sedang dilakukan siswa saat ini saja. Apalagi jika kesalahan tersebut telah dimaafkan.
            Para siswa adalah manusia seperti kita. Mereka memiliki perasaan bersalah, perasaan malu, dan memiliki keinginan untuk memperbaiki diri. Namur, Madang-kadang situasi menuntut mereka melakukan kembali kesalahan yangsama. Nah, sebetulnya mereka menyadari bahwa perilaku mereka itu salah, akan tetapi mereka tidak berdaya. Oleh sebab itu, guru harus mampu memaafkan kesalahan mereka dan tidak bosan-bosannya terus berupaya memperbaiki sikap dan perilaku mereka yang salah itu.
            Guru pemaaf menghadapi segala keburukan dan kesalahan para siswa sebagai suatu hal yang wajar dan manusiawi sehingga ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaki kesalahan mereka agar tidak diulang kembali. Guru pemaaf menyadari bahwa tugasnya hádala memperbaiki siswa-siswinya, bukan merusakkan atau membuat mereka semakin tidak berdaya.


1 komentar: